Lompat ke blok konten utama

Mendengarkan dengan antusias, batu pun akan berubah menjadi sebongkah emas Kiat sakti dalam komunikasi orang tua dan anak

Chang Shou-song, Lektor National Open University

Semua orang tahu bahwa ‘selokan air harus sering dibersihkan, bila tidak maka ketika hujan deras turun, akan terdapat genangan air atau banjir’; semua orang tahu bahwa ‘usus di dalam tubuh harus tetap dalam kondisi bersih, buang air besar secara teratur, bila tidak kotoran yang mengendap di dalam usus akan menyebabkan sakit perut atau konstipasi / sembelit’. Begitu pula dengan keluarga, harus rajin berkomunikasi dan harus berjalan dengan lancar, terutama sekali hubungan antara orang tua dan anak, bila tidak ada komunikasi atau bila komunikasinya buruk, maka akan menimbulkan kesalahpahaman dan pertikaian, yang terburuk akan menimbulkan konflik antara orang tua dan anak. Orang tua yang terkasih, ‘komunikasi antara orang tua dan anak’ merupakan sebuah jembatan antara orang tua dan anak untuk saling memahami.
Kami mendapati bahwa tidak sedikit pelajar remaja memiliki nilai matematika yang memuaskan saat duduk di sekolah dasar, setidaknya nilainya tergolong normal, tetapi ketika naik ke jenjang SMP dan SMA, nilai pelajaran matematika tiba-tiba berubah menjadi tidak biasa, Peter adalah salah satu contoh yang paling menonjol. Begitu naik ke SMP kelas 1, nilai ulangan pertama pelajaran matematika Peter hanya 49, malam hari itu Peter memberikan lembar ulangan kepada ayah / ibu untuk ditandatangani… 
Sebagian besar orang tua akan merasa terkejut saat melihat nilai ulangan seperti itu, merasa khawatir, dan sering mengucapkan, “Apa yang terjadi denganmu, kenapa bisa mendapat nilai jelek seperti itu?” Sebenarnya, hati Peter juga merasa sangat sedih, bersalah, takut, dan cemas. Bila orang tua bisa memahami perasaannya, berempati dan menenangkan hati Peter dengan berkata “Melihat hasil ulangan seperti ini, saya dan kamu sama-sama merasa kecewa, tetapi jangan merasa frustasi hanya karena satu kali kegagalan” atau “Meski hasil ulangan ini di luar dugaan, tetapi saya tahu kamu telah berusaha semampunya”. 
Pada saat inilah, ayah/ibu Peter mengambil sebuah pena dan siap untuk menandatangani namun menghentikannya, benar-benar tidak dapat menahan diri untuk mengkritik, “Bukannya aku ingin mengata-ngatai kamu, bagaimana masa depan kamu jika nilai rapor kamu seperti ini?” Bila para orang tua bisa berempati terhadap perasaan anak-anak, maka ketika berbicara bisa mengucapkan, “Peter, aku mengkhawatirkan nilai rapormu, tetapi kamu harus bertanggung jawab atas nilaimu sendiri”, atau “Aku tidak menyalahkanmu, tetapi aku ingin kamu tahu, nilai rapor ini benar-benar membuatku khawatir”.
Dengan kemarahan, ketegangan, dan perasaan malu, ayah/ibu Peter menandatangani lembar ulangan tersebut, menggeleng-gelengkan kepala dan dengan kecewa berkata, “Setiap hari kamu menonton televisi dan bermain ponsel, kamu seharusnya meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk belajar!” Bila orang tua dapat berkomunikasi tanpa rasa frustasi dan memberikan semangat, berbicara dengan anak seperti, “Peter, mungkin kita harus berdiskusi baik-baik mengenai masalah hasil ujian yang tidak memuaskan ini” atau “Bila kamu dapat menambah waktu untuk mengulas kembali pelajaran, aku yakin prestasi kamu akan meningkat lain kali”.
‘Bagaimana berbicara’ lebih penting bila dibandingkan dengan ‘berbicara apa’. Ketika orang tua dapat memahami perasaan putra-putrinya, memperhatikan sikap dalam berkomunikasi dan kata-kata yang diucapkan, maka akan terlihat dengan jelas sebuah komunikasi yang dipenuhi oleh empati dan produktif, cara berpikir antara orang tua dan anak juga dapat terjalin dan terintegrasi, anak-anak juga dapat memperoleh pengertian, perhatian, dan harapan dari orang tuanya, dan mereka akan berusaha sekuat tenaga. Orang tua yang terkasih, ‘komunikasi dengan empati’ merupakan komunikasi yang penuh kehangatan, memulihkan, dan berguna.